Mahasiwa UII Ubah Cangkang Kakao Jadi Obat Bronkitis

Tiga mahasiswa FMIPA UII berhasil mengubah cangkang kakao jadi obat bronkitis kronik. (foto : heri purwata)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Tiga mahasiswa Program Studi Kimia dan Farmasi Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Islam Indonesia (FMIPA UII) berhasil mengolah limbah cangkang kakao (theobroma cacao) menjadi obat penyakit bronkitis kronik. Hasil penelitian tiga mahasiswa FMIPA UII, Ratih Lestari. Aditya Sewanggara, dan Kartika Puspitasari berhasil lolos ke Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) 2018.

Dijelaskan Ratih, Aditya, dan Kartika, cangkang atau kulit buah kakao mengandung senyawa flavonoid. Senyawa ini mampu menghambat pertumbuhan bakteri Klebsiella Pneumoniae penyebab penyakit bronkitis.

Bacaan Lainnya

“Selama ini cangkang kakao hanya menjadi limbah. Kita berikhtiar memanfaatkan limbah kakao untuk dijadikan obat bronkitis kronik dan diberi nama Nano Shark Kao,” kata Ratih kepada wartawan di Kampus FMIPA UII Yogyakarta, Ahad (19/8/2018).

Nano Shark Kao spray yang bisa digunakan penderita bronkitis kronik karya mahasiswa FMIPA UII, Ahad (19/8/2018). (foto : heri purwata)

Ditambahkan Aditya, kelompoknya mendapatkan limbah kakao di dekat tempat wisata Nglanggeran atau Gunung Purba di Patuk, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Cara membuatnya, cangkang kakao dikeringkan kemudian dihaluskan hingga menjadi serbuk. Selanjutnya, serbuk direndam di dalam ethanol.

“Tetapi serbuk yang dihaluskan masih terlalu besar sehingga tidak dapat diserap darah. Karena itu, kita memperkecil partikel menggunakan teknologi nano. Sehingga obat ini diberi nama Nano Shark Kao dan penggunaanya tinggal disemprotkan,” kata Aditya.

Tim yang berada di bawah bimbingan dosen FMIPA UII, Dr Yandi Syukri ini telah melakukan uji pre klinis terhadap dua tikus. Satu tikus diberi Nano Shark Kao, sedang satu tikus tidak diberi obat.

“Hasilnya, paru-paru tikus yang diberi Nano Shark Kao berwarna bersih, juga ususnya bersih. Sedang tikus yang tidak diberi Nano Shark Kao, paru-parunya berwarna hitam dan ususnya juga hitam,” kata Aditya.

Sementara Kartika menjelaskan penelitian ini merupakan Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian Eksakta (PKM-PE). Ide membuat penelitian ini berdasarkan data yang dirilis World Health Organization (WHO) yaitu jumlah perokok di dunia sebanyak 1,2 miliar. Sedang Indonesia menempati urutan ketiga jumlah perokok terbesar.

“Asap rokok mengandung senyawa racun organo klorin yang dapat memicu pertumbuhan bakteri Klebsiella pneumoniae yaitu salah satu bakteri penyebab bronkitis kronik,” kata Kartika.

Saat ini, kata Kartika, pengobatan untuk bronkitis kronik menggunakan antibiotik. Namun obat ini masih memiliki kekurangan, di antaranya, alergi, iodosinkranasi dan dapat menyebabkan resistensi bakteri.

“Penelitian ini kami memanfaatkan limbah kulit kakao sebagai solusi pengobatan bronkitis kronik menggunakan metode nanospray yang berbasis gelasi ionik. Prinsip nano digunakan untuk memperkecil ukuran zat aktif sediaan obat sehingga lebih mudah diabsorpsi kedalam sel target,” ujar Kartika.

Tim ini berharap pembuatan nanospray inhaler dari limbah kulit kakao ini menjadi langkah inovatif yang memberikan tiga keuntungan. Pertama, cangkang kakao memiliki nilai yang ekonomis. Kedua, Nano Shark Kao bisa menjadi solusi alternatif pengobatan penyakit bronkitis kronik yang tepat sasaran. Ketiga, penelitian ini mampu mengatasi permasalahan lingkungan akibat limbah kulit kakao.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *