Kampaye Pemilu 2024 Lebih Menonjolkan Pilpres ketimbang Pileg

Diskusi Pemilu
Diskusi Pojok Bulaksumur UGM yang bertajuk 'Membidik Program Capres-Caleg di Mata Pemilih Pemula,' di Kampus UGM. (foto : istimewa)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 terasa lebih menonjolkan informasi pemilihan presiden (Pilpres) ketimbang pemilihan legislatif (Pileg). Sehingga calon pemilih lebih banyak mendapatkan informasi tentang calon presiden dan calon wakil presiden (Capres dan Cawapres) dari pada calon-calon legislatif (Caleg).

Hal itu diungkapkan Linda Kristiani Sianturi, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Ia mengungkapkan hal tersebut pada Diskusi Pojok Bulaksumur UGM yang bertajuk ‘Membidik Program Capres-Caleg di Mata Pemilih Pemula,’ di selasar tengah, Gedung Pusat UGM, Kamis (25/1/2024).

Bacaan Lainnya

Linda mengaku dirinya berumur 19 tahun dan baru akan menggunakan hak suaranya pada Pemilu pertama nanti. Linda selalu mengikuti agenda debat Capres dan Cawapres yang disiarkan media nasional. Namun sebaliknya ia mengaku kesulitan untuk mengikuti perkembangan dari kampanye calon anggota legislatif akibat ruang yang diberikan tidak sebesar seperti Pilpres.

“Untuk Pileg, umumnya mahasiswa kurang memperhatikan. Yang lebih diperhatikan justru Pilpresnya. Padahal peran anggota legislatif nantinya sangat penting berkaitan dengan kebijakan yang dampaknya dirasakan oleh rakyat seperti membuat UU, mengawasi pemerintah termasuk kenaikan soal pajak juga menjadi perhatian dari legislative,” kata Linda.

Soal aspirasi pemilih pemula untuk calon pemimpin baik di eksekutif dan legislatif, Linda mengusulkan adanya program adanya biaya Pendidikan terjangkau yang bisa diakses oleh seluruh masyarakat. “Kita ingin biaya pendidikan yang terjangkau agar semua golongan bisa memiliki akses. Saya ketemu teman adik kelas saya di SMA, mereka mengeluh pengin sekali kuliah karena tidak bisa. Kenapa? Ayah saya tidak bekerja dan ibu kerja serabutan dan tidak punya biaya cukup untuk kuliah,” kata Linda menirukan ucapan sahabatnya.

Menurut Linda, apa yang ditemukannya, menjadi kenyataan yang dialami oleh anak muda lulusan sekolah menengah atas yang tidak bisa melanjutkan kuliah karena keterbatasan biaya. Selain itu, Linda juga mengusulkan agar pemerintah juga memperhatikan soal ketersediaan lapangan pekerjaan baru karena sulitnya anak muda untuk mendapatkan pekerjaan.

“Banyak lulusan sarjana baru saat ini susah mendapat pekerjaan. Kalau pun ada lowongan, banyak yang mensyaratkan sudah punya pengalaman 2 sampai 5 tahun. Bagaimana sarjana yang baru lulus bisa mendapat kerja jika seperti itu,” tandasnya.

Hal senada juga disampaikan mahasiswa Fakultas Filsafat UGM, Laksito Lintang (22). Ia menginginkan aspirasi mahasiswa juga dibawa oleh calon pemimpin baik di eksekutif maupun legislatif. “Usulan saya sebagai mahasiswa, sebaiknya ada program pendidikan gratis dan kemudahan bagi kita mendapatkan pekerjaan bagi lulusan yang punya pengalaman aktif berorganisasi atau magang kerja,” kata Laksito.

Sementara Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Alfath Bagus Panuntun El Nur, SIP, MA mengatakan Pemilu 2024 ini memang pemilih lebih banyak menyoroti proses kampanye Pilpres dibandingkan pada kampanye Pileg. “Kondisi ini menjadi tantangan kita agar Pileg sebaiknya diberikan ruang besar proporsinya agar pemilih bisa mengetahui rekam jejak caleg baik inkumben maupun pendatang baru. Selain itu, anak muda yang terpilih di Pileg umumnya berasal dari keluarga yang sudah lama berkecimpung di dunia politik atau sudah memiliki modal,” kata Alfath Bagus Panuntun. (*)