Rektor Unisa : Judol Marak, Ancam Terwujudnya Generasi Emas 2045

Rektor Unisa, Warsiti saat membuka Seminar & Awarding Ajang Kreativitas Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Antariksa) 2025 di Hall Baroroh Baried Unisa Yogyakarta, Sabtu (19/7/2025). (foto : istimewa)
Rektor Unisa, Warsiti saat membuka Seminar & Awarding Ajang Kreativitas Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Antariksa) 2025 di Hall Baroroh Baried Unisa Yogyakarta, Sabtu (19/7/2025). (foto : istimewa)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Rektor Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, Warsiti mengharapkan generasi muda menjadi agen perubahan yang bisa mencegah maraknya judi online (Judol). Hal tersebut menjadi salah satu langkah untuk bisa mewujudkan Generasi Emas di tahun 2045.

Rektor Unisa mengemukakan hal tersebut saat membuka Seminar & Awarding Ajang Kreativitas Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Antariksa) 2025 di Hall Baroroh Baried Unisa Yogyakarta, Sabtu (19/7/2025). Seminar yang diikuti mahasiswa ini mengangkat tema ‘Stop Clicking, Start Living.’

Bacaan Lainnya

“Unisa Yogyakarta berkomitmen untuk membangun karakter dan integritas mahasiswa, sivitas Unisa Yogyakarta agar menggunakan teknologi untuk hal-hal yang positif,” kata Warsiti.

Lebih lanjut Warsiti menjelaskan Judol telah menjadi ancaman nyata bagi berbagai kalangan masyarakat. Lilitan hutang hingga tindak kriminal kerap dipicu rasa kecanduan Judol. Iming-iming keuntungan besar, tapi kenyatanya justru kerugian besar yang didapat para pelaku Judol.

“Judol sudah menjadi ancaman, tidak cuma finansial. Fenomena ini menimbulkan kerugian masalah psikologi, dampak sosial, merusak masa depan generasi muda. Betapa mirisnya kasus Judol kini merambat juga ke Pinjol ilegal,” kata Warsiti.

Sedang anggota DPD RI Dapil DIY, RA Yashinta Sekarwangi Mega mengatakan berdasarkan data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), jumlah transaksi Judol mencapai 39.818.000 transaksi. Perputaran uang diperkirakan hingga akhir tahun 2025, bisa mencapai Rp 1.200 triliun.
 
Yashinta menambahkan mirisnya banyak anak muda yang terjerat lingkaran Judol ini. Data jumlah deposit berdasarkan umur tahun 10 -16 tahun, lebih dari Rp 2,2 miliar. Kemudian usia 17-19 tahun lebih dari Rp 47,9 miliar. Selanjutnya usia 31- 40 tahun lebih dari Rp 2,5 triliun. “Realita hari ini menjadi tantangan bersama. Judi online itu bagaikan rayuan manis diawal, namun berujung pahit diakhir. Semua golongan bisa kena,” kata Yashinta.
 
Yashinta juga memberikan contoh berbagai tindak kriminal yang dipicu karena lilitan utang dampak judi online. Sebagai anggota DPD RI, Yashinta menyebut pihaknya berkolaborasi dengan Otoritas Jasa Keuangan Daerah Istimewa Yogyakarta (OJK DIY) untuk mendukung pencegahan judi online. 
 
Menurut Yashinta, salah satu hal yang penting adalah peningkatan literasi digital terhadap generasi muda. Peningkatan literasi digital bisa dilakukan dengan basis komunitas, maupun mendorong keterlibatan keluarga dan lingkungan. “Jadi di lingkaran pertemanan harus saling mengingatkan. Di lingkungan keluarga teman-teman juga bisa saling mengingatkan,” kata Yashinta.
 
Psikolog RSIY PDHI Yogyakarta, Cania Mutia mengungkapkan Judol saat ini seperti fenomena gunung es. “Mungkin kelihatan sedikit, tapi sangat banyak. Mati satu tumbuh seribu. Judol Pinjol ini masalah pengenalan diri,” ujar Cania.
 
Cania mengungkapkan setidaknya ada empat siklus adiksi judi. Pertama, winning phase yang merupakan kemenangan awal memberi euforia dan keyakinan berlebih. Kedua, losing phase yaitu kekalahan memicu keinginan balas dendam. Ketiga, desperation phase, kecanduan berat, penjudi semakin terjerat. Keempat, giving up phase, kesadaran akan dampak, mencari bantuan atau semakin terpuruk. “Kesadaran ini muncul gara-gara harta habis atau ditangkap polisi,” jelas Cania.
 
Menurut Cania, perjudian termasuk gangguan adiktif mirip dengan orang yang kecanduan zat Narkoba. Judi menyebabkan gejala psikologis yang disebut gambling disorders berupa gangguan emosi dan perilaku, dapat menyebabkan gangguan terhadap kesehatan mental serta mempengaruhi kehidupan sehari-hari.
 
Cania menyarankan agar generasi muda bisa membangun ketahanan diri. Mulai dari membuat rencana keuangan, melakukan refleksi diri, mengenali pemicu yang membuat ingin berjudi. Selain itu juga mengelola stres dengan cara yang lebih sehat. “Bangun dukungan sosial yang kuat, batasi dan hapus akses ke situs judi online. Temukan hobi dan aktivitas pengganti,” kata Cania.
 
Judol kerap bertautan dengan pinjaman online (Pinjol). Tidak sedikit pula masyarakat yang terbelenggu pada Pinjol ilegal. Pinjol ilegal juga bisa membahayakan masyarakat. Salah satunya Pinjol ilegal membebankan bunga dan denda yang tidak terbatas. 
 
Asisten Direktur Divisi Pengawasan Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, Pelindungan Konsumen, dan Layanan Manajemen Strategis OJK DIY, Susana Diah Kusumaningrum mengatakan OJK mengambil peran untuk mengatur sektor jasa keuangan, mengawasi sektor jasa keuangan. Selain itu, OJK juga melindungi kepercayaan konsumen dan/atau masyarakat.

Susana Diah mengimbau agar masyarakat tidak mudah diiming-imingi keuntungan besar dalam waktu singkat. “Saya mengimbau agar masyarakat menghindari judol. Hati-hati banget jangan tergiur. Sejauh saya tahu, belum ada yang jadi kaya karena judol,” kata Susana.
 
Susana juga memberikan edukasi seputar keuangan. Mulai dari kehati-hatian untuk investasi, memahami pinjaman online legal dan ilegal, serta mengenali berbagai modus penipuan.
 
Sementara Ketua Antariksa 2025, Reza Al Khifari mengatakan Judol saat ini tidak bisa diremehkan. Reza mengajak semua lapisan masyarakat untuk tidak menutup mata dan melihat bahaya dari fenomena ini. “Adanya kampanye pencegahan Judol semoga banyak membentuk agen baru memerangi Judol,” ungkap Reza.
 
Seminar ini, kata Reza, merupakan rangkaian puncak acara Antariksa. Beberapa agenda sebelumnya adalah Antariksa Goes to School, Sapa Warga, dan Campaign on the Road. “Antariksa 2025 juga menjadi bagian dari milad Unisa Yogyakarta ke-34,” kata Reza. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *