Rektor UII : Pendidikan Membentuk Pribadi Berilmu, Berakhlak, dan Berdaya

Rektor UII menyerahkan ijazah kepada wisudawati di Auditorium Prof KH Abdul Kahar Muzakkir, Kampus Terpadu UII, Sabtu (23/8/2025). (foto : Humas UII)
Rektor UII menyerahkan ijazah kepada wisudawati di Auditorium Prof KH Abdul Kahar Muzakkir, Kampus Terpadu UII, Sabtu (23/8/2025). (foto : Humas UII)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid mengatakan ada tiga fungsi utama pendidikan yaitu kualifikasi (qualification), sosialisasi (socialisation), dan subjektivitasi (subjectification). Dalam pendidikan Islam, tiga konsep tersebut disebut ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib. Tiga konsep ini saling melengkapi, membentuk pribadi yang berilmu, berakhlak, dan berdaya dalam memilih jalan hidup.

Fathul Wahid mengemukakan hal tersebut pada Wisuda Doktor, Magister, Sarjana dan Diploma Periode VI Tahun Akademik 2024/2025 di Auditorium Prof KH Abdul Kahar Muzakkir, Kampus Terpadu UII, Sabtu-Ahad (23-24/8/2025). Periode ini, UII mewisuda sebanyak 1.100 lulusan dari berbagai jenjang yang terdiri dari 13 ahli madia, 20 sarjana terapan, 953 sarjana, 96 magister, dan 18 doktor.

Bacaan Lainnya

“Sampai hari ini, Universitas Islam Indonesia (UII) yang kita cintai telah menghasilkan 133.378 lulusan yang sudah menebar manfaat dengan beragam peran, baik di dalam negeri maupun manca negara. Ini adalah bagian dari sumbangsih UII untuk kemajuan bangsa dan kemanusiaan,” kata Fathul Wahid.

Lebih lanjut Fathul Wahid menjelaskan kualifikasi berfungsi membekali seseorang dengan pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi yang diperlukan untuk menjalani peran tertentu di masyarakat. Pendidikan sebagai proses ‘mengisi kotak peralatan’ yang kelak digunakan dalam dunia kerja dan kehidupan.

“Kualifikasi membuat seorang lulusan teknik mampu merancang sistem, seorang lulusan kedokteran mampu menangani pasien, dan seorang lulusan hukum mampu menafsirkan dan menerapkan peraturan. Tanpa fungsi ini, pendidikan kehilangan perannya sebagai pintu menuju kontribusi profesional,” kata Fathul.

Fathul menambahkan seorang wisudawan informatika, saat masuk gagap memprogram, kini dapat membuat aplikasi yang mempermudah transaksi usaha kecil dan menengah (UKM). Lulusan manajemen mungkin dulu hanya mempelajari teori pemasaran di kelas, kini bisa merancang strategi penjualan yang meningkatkan omzet perusahaan. Sedang lulusan kimia yang dulu berjuang memahami reaksi senyawa, kini mampu mengembangkan formula pembersih ramah lingkungan yang aman bagi kesehatan.

“Kualifikasi adalah seperti menyiapkan bekal di tas perjalanan: tanpa bekal ini, kita mungkin berangkat, tetapi tidak siap menghadapi medan yang menantang,” kata Fathul Wahid.

Kemudian Sosialisasi memiliki fungsi membentuk seseorang mampu menjadi bagian dari masyarakat, budaya, dan tradisi di lingkungannya. Pendidikan tidak hanya mengajarkan isi buku, tapi juga nilai, norma, dan cara hidup bersama. Sosialisasi menanamkan kesadaran bahwa hidup tidak dijalani sendirian, melainkan dalam jalinan relasi yang menuntut rasa hormat, kerja sama, dan empati.

“Bayangkan awal perkuliahan ketika Saudara belum terbiasa bekerja dalam kelompok dan berbicara di depan banyak orang. Seiring waktu, Saudara belajar membagi peran saat mengerjakan proyek, menghormati pendapat yang berbeda, bahkan mengalah demi kebaikan bersama,” kata Fathul.

Menurut Fathul, Sosialisasi seperti bermain orkestra yang melibatkan banyak pemusik. “Keindahan musik muncul bukan dari satu pemain, melainkan dari harmoni semua instrumen yang bekerja sama,” kata Fathul.

Selanjutnya, Subjektivitasi memiliki fungsi memerdekakan seseorang menjadi pribadi yang otonom. Pribadi yang mampu mengambil keputusan dan menentukan arah hidup sendiri, dengan tanggung jawab penuh atas pilihan itu.

“Subjektivikasi adalah saat pendidikan mengajarkan kita bukan hanya apa yang harus dipikirkan, tetapi bagaimana berpikir, dan berani mengatakan ‘inilah saya’ dengan kesadaran akan konsekuensinya,” katanya.

Fathul mencontohkan, seorang lulusan ekonomika mendapat tawaran kerja di bank multinasional. Tetapi ia memilih pulang ke daerah untuk membangun koperasi desa. Atau, lulusan kedokteran yang lebih memilih bertugas di daerah terpencil dari pada di rumah sakit besar di kota. Keputusan ini mungkin tidak populer, tapi lahir dari kesadaran diri dan keberanian. Atau, lulusan hukum yang memilih berjalan di rel kejujuran di antara godaan untuk mengabaikannya.

“Subjektivikasi ibarat kompas pribadi, seorang lulusan tidak selalu menunjukkan jalan yang paling mudah dalam menapaki jalan hidupnya. Tetapi mengarahkan lulusan ke jalan yang paling bermakna,” katanya.

Tiga fungsi pendidikan tersebut, kata Fathul Wahid, harus bisa jalan bersama. Sebab kualifikasi tanpa sosialisasi bisa membuat seseorang cerdas dan cakap tapi egois. Sosialisasi tanpa kualifikasi bisa membuat seseorang ramah tapi sulit berkontribusi nyata. Subjektivikasi tanpa keduanya bisa menjerumuskan pada cita-cita yang tidak membumi. “Ketiganya seperti tiga kaki tripod kamera: hilang satu saja, hasilnya goyah,” tandas Fathul.

Wisudawan-wisudawati, kata Fathul, sudah mendapatkan tiga bekal yaitu pengetahuan, pemahaman hidup bersama, dan keberanian menentukan jalan hidup. Selain itu, wisudawan-wisudawati, sudah dibekali, dibentuk, dan dimerdekakan.

“Tugas berikutnya adalah menjaga ketiga bekal tersebut tetap seimbang, sambil menggunakannya untuk memberi manfaat bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan bangsa. Selamat melangkah ke babak baru. Semoga perjalanan Saudara selalu penuh berkah, makna, dan kontribusi,” harap Fathul. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *