Pendidikan Bermakna Jadi Bekal Generasi Milenial di Era Digital

Prof Dr Sugeng Bayu Wahyono
Prof Dr Sugeng Bayu Wahyono, Dosen FIPP UNY. (foto :istimewa)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Pendidikan Bermakna dapat menjadi bekal bagi generasi milenial untuk menghadapi tantangan dan peluang era digital. Pendidikan bermakna merupakan kombinasi antara pedagogi kritis dan pendidikan partisipatoris.

Hal tersebut dikemukakan Prof Dr Sugeng Bayu Wahyono, MSi, Guru Besar Bidang Ilmu Sosiologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Yogyakarta (FIPP UNY) di Yogyakarta, beberapa waktu lalu. Sebab penggunaan teknologi dalam pembelajaran telah memunculkan risiko terhadap pembentukan subjek aktif dalam pendidikan.

Bacaan Lainnya

Lebih lanjut Sugeng menjelaskan pendidikan bermakna kombinasi antara pedagogi kritis dan pendidikan partisipatoris. Pedagogi kritis menekankan pembebasan dari struktur yang menindas, sedang pendidikan partisipatoris mendorong peserta didik untuk menjadi subjek aktif dalam pembelajaran. “Sehingga pendidikan bermakna tidak hanya membangun kesadaran kritis, tetapi juga melibatkan peserta didik secara aktif dalam memproduksi pengetahuan dan memecahkan masalah sehari-hari,” jelas Sugeng.

Pendiri Perhimpunan Warga Pancasila (PWP) Yogyakarta ini juga menegaskan pendidikan bermakna memegang peran penting dalam memperbaiki tata kehidupan masyarakat dan negara. Di tengah arus informasi yang dipandu oleh algoritma dan teknologi, pendidikan bermakna membuka ruang untuk keterlibatan yang lebih aktif dari peserta didik. “Ini penting karena penggunaan media baru dalam pembelajaran sering kali lebih mengarah pada konsumsi dari pada pembentukan pengetahuan yang kritis,” kata Sugeng.

Namun sayangnya, kata Sugeng, implementasi pendidikan bermakna di Indonesia tidaklah mudah. Hal ini disebabkan rendahnya kemampuan belajar mandiri peserta didik menjadi salah satu tantangan utama. Selain itu, banyaknya akses ke konten rekreatif menghambat proses pembelajaran yang berorientasi pada pemecahan masalah. “Bahkan keterlibatan dalam proses pembelajaran secara algoritmik melalui media baru itu dapat juga mematikan daya kreasi dan imajinasi peserta didik,” kata Sugeng Bayu Wahyono.

Profesor yang telah menulis 11 buku di bidang sosial pendidikan tersebut menambahkan pendidikan bermakna memposisikan peserta didik tidak hanya sebagai konsumen pasif, tetapi sebagai agen yang aktif dalam pembelajaran. Sehingga hal ini membantu membangun kemampuan bernegosiasi terhadap berbagai bentuk globalisasi yang dapat mengancam kedaulatan dan identitas bangsa. (*)