Hasil Investigasi Forensik Digital Masih Ada Kelemahan Sebagai Bukti Sah di Pengadilan

forensik
Dr Ahmad Luthfi saat memberikan keterangan kepada wartawan secara virtual. (foto : screenshotzoom/heri purwata)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Dr Ahmad Luthfi, peneliti Pusat Studi Forensika Digital (PUSFID) Universitas Islam Indonesia (UII) mengatakan hasil investigasi forensi digital harus bisa menjadi bukti sah di pengadilan. Namun saat ini, analisis forensik digital masih memiliki banyak kekurangan dan kerentanan, terutama pada tahap validasi.

Ahmad Luthfi mengemukakan hal tersebut kepada wartawan secara virtual dari Kampus Fakultas Teknologi Industri (FTI) UII, Jumat (11/11/2022). Hasil penelitian Ahmad Luthfi telah dipaparkan pada The 2022 Institute of Electrical and Electronic Engineering (IEEE) 7th International Conference on Information Technology and Digital Applications (ICITDA), Jumat-Sabtu (4-5/11/2022).

Bacaan Lainnya

Selama ini, kata Ahmad Luthfi, ada tiga fenomena yang terjadi pada domain forensic digital. Pertama, pengembangan studi bidang forensik digital masih didominasi oleh para praktisi atau profesional (professional-driven).

Kedua, studi di bidang forensik digital cenderung bersifat ad hoc, didorong oleh penyidik, dan berdasarkan pengalaman individu (investigator’s experience). Ketiga, para investigator forensik digital memiliki ketergantungan yang cukup kuat terhadap hasil investigasi berdasarkan siklus proses alat bantu (tools) analisis forensik digital.

“Analisis forensik digital masih memiliki banyak kekurangan dan kerentanan, terutama selama tahap validasi,” kata Ahmad Luthfi yang didampingi Dr R Teduh Dirgahayu, Ketua Jurusan Informatika Fakultas Teknologi Industri (FTI) UII dan Kurniawan Dwi Irianto, ST, MT, Ketua Pelaksana ICITDA 2022 dan Dosen Jurusan Informatika FTI UII.

Dijelaskan Ahmad Luthfi, dua sub-proses besar proses utuh investigasi forensik digital. Pertama, practice investigative, yaitu pada tahapan pelestarian (preservation) bukti digital, pengumpulan bukti digital (collection/location), dan analisis (analysis) bukti digital. Kedua, legal investigative, yaitu membangun argumen (construct argument) berdasarkan pandangan hukum, dan penyajian (presentation) bukti di pengadilan.

Hasil penelitian Luthfi, di antara proses practice investigative dan legal investigative memiliki celah kesalahan interpretasi. Hal ini disebabkan hasil investigasi yang dilakukan pada proses pertama tidak melewati tahapan validasi. “Akibatnya, hasil interpretasi terkait perspektif hukum, teori kemungkinan siapa aktor di belakang kasus pelanggaran digital, dan juga laporan hasil investigasi tidak tepat dan solid (berdasarkan kajian ilmiah),” kata Ahmad Luthfi yang juga Dosen Jurusan Informatika FTI UII.

Karena itu, Ahmad Luthfi mengusulkan model validasi dengan pendekatan yang teruji dan sistematis. Usulan tersebut berdasarkan pertimbangan tantangan dan pandangan ilmiah. Ada empat model validasi agar laporan investigasi forensik digital tempat dan solid.

Pertama, alat bantu analisis sebaiknya memiliki kumpulan data empiris (empirical datasets) yang dapat dikonfigurasikan sebagai basis pengetahuan terhadap kasus kejahatan komputer/siber yang serupa.

Kedua, pengembangan sebuah matriks untuk mengukur presisi dan akurasi metode dan alat forensik (tools) yang digunakan, termasuk kemungkinan ditemukan kesalahan analisis (bug).

Ketiga, membangun konsensus tentang kerangka hukum dan teknis investigasi antara praktisi dan akademisi. Keempat, memanfaatkan teknik pembelajaran mesin (machine learning) dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) untuk beralih dari teknik semi otomatis investigasi menjadi analisis otomasi menyeluruh.

Sedang Kurniawan Dwi Irianto menjelaskan The IEEE 7th ICITDA dilaksanakan Jurusan Informatika FTI UII secara dalam jaringan (Daring) dan luar jaringan (Luring), Jumat-Sabtu (4-5/11/2022). Nara sumbernya, Ahmad Luthfi (UII), Prof Syukor Abd Razak (Universiti Teknologi Malaysia), Dr Dwi Niken Wahyu Cahyani (Universitas Telkom), Kombes Pol Muhammad Nuh Al-Azhar MSc, CHFI, CEI; Josua M Sinambela MEng; Prof Ying Dar-Lin (Taiwan).

Sementara Teduh Dirgahayu mengatakan The 2022 IEEE 7th ICITDA merupakan forum internasional untuk pertukaran ide, pengetahuan, dan pengalaman tentang perkembangan terkini di bidang teknologi informasi dan aplikasi digital di antara para peneliti dari akademisi, insinyur, dan praktisi dari industri. “Konferensi ini juga diharapkan dapat membuka peluang kolaborasi antar peserta untuk memajukan teori dan praktik di bidang teknologi informasi,” kata Teduh Dirgahayu. (*)