Fathul Wahid : Data Bagai Minyak Bumi Baru, Tetapi Pengguna Harus Waspada

Rektor UII, Fathul Wahid saat menyampaikan sambutan penyerahan SK Profesor bagi Sri Kusumadewi. (foto : heri purwata)
Rektor UII, Fathul Wahid saat menyampaikan sambutan penyerahan SK Profesor bagi Sri Kusumadewi. (foto : heri purwata)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Saat ini, data dipercaya mempunyai banyak manfaat. Bahkan ada yang mengatakan, data adalah minyak bumi baru (data is the new oil), karena nilai yang dikandungnya yang dipersamakan dengan peran minyak bumi pada masa revolusi industri. Frasa ini dinyatakan pertama kali pada 2006 oleh matematikawan berkebangsaan Inggris bernama Clive Humby.

Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid mengemukakan hal itu pada sambutan penyerahan Surat Keputusan (SK) Kenaikan Jabatan Akademik Profesor dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) bagi Prof Dr Sri Kusumadewi, SSi, MT, Dosen Program Studi Magister Informatika, Fakultas Teknologi Industri, Selasa (12/8/2025). Prof Sri Kusumadewi merupakan Guru Besar ke-56 yang lahir dari rahim Universitas Islam Indonesia (UII) dan satu dari 50 profesor aktif di UII.

Bacaan Lainnya

Lebih lanjut Fathul Wahid mengatakan data tidak serta merta memberikan manfaat. Data perlu didapatkan dari sumber yang tepat (data provenance), disiapkan dengan baik (data preparation), dilindungi (data protection), dan disadari aspek privasinya (data privacy). “Pemahaman seperti ini diperlukan supaya tidak terjadi ‘kebakaran data’ yaitu beragam masalah yang muncul terkait dengan data,” kata Fathul.

Menurut Fathul, peran data dalam pengambilan keputusan memainkan peran yang berbeda-beda, tergantung bagaimana penempatannya. “Paling tidak, terdapat tiga pendekatan utama yang sering digunakan: data-driven, data-informed, dan data-inspired,” kata Fathul.

Data-driven, jelas Fathul, semua keputusan digerakkan sepenuhnya oleh angka dan statistik. Seperti autopilot di pesawat, sistem membaca semua parameter, lalu menentukan arah tanpa campur tangan emosi.

Kemudian data-informed, pendekatan ini seperti mengemudi mobil dengan bantuan Global Positioning System (GPS). Seseorang tahu arah dan kondisi jalan dari data, tapi tetap punya ruang untuk menyesuaikan jika ada hal-hal tak terduga.

Sedang data-inspired merupakan petunjuk seperti melihat peta cuaca sebelum memutuskan aktivitas luar ruang, termasuk main layang-layang. Data memberi ide awal, tapi seseorang bebas mengeksplorasi pilihan. “Data menjadi sumber wawasan, bukan penentu hasil akhir,” katanya.

Karena itu, Fathul Wahid mengharapkan seseorang jangan suka berhalusinasi, bahwa dunia akan semakin indah, jika semua pengambilan keputusan ditentukan sepenuhnya oleh data dan algoritma tanpa campur tangan pelaku. Bisa jadi, dunia justru menjadi mengerikan, karena manusia direnggut kemerdekaannya, dan diperlakukan tak beda dengan onderdil mesin, yang mengikuti algoritma desainernya.

“Data tak selalu bicara dalam nada yang sama. Kadang jadi pengemudi, kadang penunjuk jalan, kadang hanya pemantik imajinasi. Di sini, peran manusia yang kapabel dan berintegritas sangat menentukan,” katanya.

Fathul Wahid juga mengingatkan ada banyak salah kaprah soal dalam memosisikan data dalam pengambilan keputusan. Sebagai warga kampus, apalagi akademisi, perlu menambah literasi pemahaman tentang data, supaya tidak latah dan dapat terlibat dalam proses edukasi publik.

Fathul Wahid menyampaikan beberapa contoh salah kaprah dalam penggunaan data. Pertama, sebagian dari warga masyarakat percaya, jika data tersedia, maka pengambilan keputusan beres: data dianggap dapat berbicara sendiri. Mereka menganggap bahwa data secara otomatis akan menghasilkan kesimpulan yang benar, cukup dengan “melihat angkanya”.

“Faktanya, supaya bermakna, data butuh konteks, interpretasi, dan kadang penjelasan kualitatif. Tanpa analisis yang tepat, data bisa menyesatkan atau diartikan keliru. Keputusan terkait manusia, misalnya, tidak bisa hanya dengan melihat data angka, apalagi sekilas. Ada beragam cerita di belakang data yang sering kali harus masuk ke dalam radar pengambil keputusan,” jelas Fathul.

Kedua, lanjut Fathul, sebagian dari warga masyarakat yakin bahwa semakin banyak data, semakin baik keputusan. Karenanya, diyakini keputusan terbaik adalah yang sepenuhnya berbasis data, dan mengabaikan faktor intuisi, pengalaman, nilai-nilai, atau etika.

“Faktanya, data berlebih (information overload) justru bisa membuat proses analisis lambat atau membingungkan, apalagi kalau tidak relevan dengan masalah. Di sisi lain, kehadiran data memang membantu, tapi banyak keputusan juga butuh pertimbangan strategis dan nilai-nilai organisasi,” ujarnya.

Ketiga, banyak dari warga masyarakat yakin bahwa data selalu objektif dan bebas dari bias. Bahkan kalau datanya berasal dari sumber resmi, dipastikan benar karena menganggap otoritas data menjamin kebenaran mutlak.

“Saya teringat seorang kawan yang sedang mengambil program doktor di Australia. Pembimbingnya menyatakan tidak setuju jika riset yang akan dilakukannya menggunakan data sekunder yang telah dikumpulkan oleh sebuah lembaga, karena dia tidak percaya dengan integritas data,” kenang Fathul.

Faktanya, kata Fathul, data bias, atau kesalahan sistematis, dapat muncul di tahap pengumpulan, pemilihan variabel, metode penyampelan, maupun saat analisis. Data mentah selalu lahir dari asumsi tertentu. Selain itu, sumber resmi pun bisa punya keterbatasan metodologi, keterlambatan pembaruan, atau kesalahan input.

Terkait dengan isu manipulasi data, pada 1954, lebih dari 70 tahun lalu, Darrell Huff menulis buku berjudul How to Lie with Statistics. Buku ini memberikan gambaran bagaimana beragam manipulasi statistikal bisa dilakukan, mulai dari pengambilan data sampaikan dengan presentasinya.

Masih banyak buku lain yang menyoal isu serupa, seperti yang ditulis oleh Joel Best (2004) yang berjudul More damned lies and statistics: How numbers confuse public issues yang diterbitkan oleh Universitas California.

Kasus yang mencuat beberapa hari terakhir di negara kita, dapat juga menjadi ilustrasi. Center of Economic and Law Studies (Celios) meminta Badan Statistik PBB (United Nations Statistics Division (UNSD) dan United Nations Statistical Commission untuk melalukan investigasi terhadap Badan Pusat Statistik (BPS).

“Apa pasal? Celios membandingkan data pertumbuhan ekonomi yang dilaporkan BPS dengan kondisi riil di lapangan. Jika dugaan Celios benar, maka di sini ada nilai-nilai intergritas yang dilanggar oleh penyelenggara negara,” tandas Fathul. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *