UII Kukuhan Dua Guru Besar, Subhan Afifi dan Sholeh Ma’mun

Prof Subhan Afifi dan Prof Sholeh Ma’mun sebelum menyampaikan pidato pengukuhan. (foto : istimewa)
Prof Subhan Afifi dan Prof Sholeh Ma’mun sebelum menyampaikan pidato pengukuhan. (foto : istimewa)

YOGYAKARTA, JOGPAPER.NET — Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta mengukuhkan dua Guru Besar, Prof Dr Subhan Afifi, SSos, MSi dan Prof Ir Sholeh Ma’mun, ST, MT, PhD. Prof Subhan Afifi sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Komunikasi Publik, Program Studi Ilmu Komunikasi Program Magister, Fakultas Ilmu Sosial Budaya, UII. Sedang Prof Sholeh Ma’mun, sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Rekayasa Reaksi Kimia Heterogen, Fakultas Teknologi Industri, UII.

Dalam pidato pengukuhan di Auditorium Prof. K.H. Abdul Kahar Muzakkir, Kampus Terpadu UII, Kamis (12/8/2025), Subhan Afifi mengangkat judul ‘Komunikasi Publik Bidang Kesehatan: Kajian Empiris dan Arah Strategis di Era Digital.’ Sedang Sholeh Ma’mun berjudul ‘Teknologi Tangkap-Guna-Simpan Karbon: Pilar Strategis Menuju Indonesia Netral Karbon.’

Subhan menjelaskan salah satu dimensi kunci dalam penanganan pandemi Covid -19 adalah komunikasi publik, yang berperan sentral dalam mitigasi risiko, membangun kepercayaan masyarakat, dan mendorong perubahan perilaku di tengah situasi darurat kesehatan. Komunikasi krisis yang efektif memastikan pesan yang akurat, tepat waktu, dan konsisten tersampaikan kepada publik, sehingga mengurangi ketidakpastian dan mencegah krisis komunikasi yang menyertai krisis kesehatan.

Untuk konteks Indonesia, kata Subhan, dinamika pengelolaan komunikasi publik di masa krisis menjadi perhatian para peneliti. LP3ES mencatat adanya 37 pernyataan menyesatkan atau kontradiktif pada fase awal pandemi Covid-19, yang berdampak pada erosi kepercayaan masyarakat.

“Kebijakan komunikasi Covid-19 di Indonesia juga tidak lepas dari pengaruh pertimbangan politik dan ekonomi. Kepentingan stabilitas politik dan pasar menjadi pertimbangan utama yang mengabaikan peringatan publik,” kata Subhan.

Menurut Subhan, tantangan komunikasi publik di Indonesia tidak hanya muncul dalam konteks krisis, tetapi juga dalam tata kelola rutin. Dalam beberapa tahun terakhir, ruang publik memperlihatkan defisit komunikasi di kalangan pemimpin politik, yang ditandai oleh minimnya empati, lemahnya respons terhadap realitas sosial ekonomi, serta dominasi retorika simbolik.

“Situasi ini menunjukkan permasalahan komunikasi publik yang tidak hanya
bersifat teknis, tetapi juga terkait dengan dimensi politik dan sosial. Fenomena ketidakpekaan atau ketidakpedulian terhadap perasaan dan konteks sosial publik kerap muncul dalam pernyataan pemegang otoritas,” tandas Subhan.

Sedang Sholeh Ma’mun mengatakan Indonesia menargetkan Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060, atau bahkan lebih cepat, selaras dengan komitmen global dalam menghadapi krisis iklim. Salah satu senjata andalan menuju NZE adalah teknologi Tangkap-Guna-Simpan Karbon (Carbon Capture, Utilization, and Storage – CCUS).

Teknologi yang menangkap CO2 dari industri atau pembangkit listrik, memanfaatkannya kembali untuk Enhanced Oil Recovery (EOR) dan pembuatan produk bernilai. Di antaranya, bahan bakar, pupuk, pemadam api, minuman bersoda, dan beton ramah lingkungan, atau menyimpannya permanen di bawah tanah.

Kata Sholeh Ma’mun, konsep CCUS sederhana, jangan biarkan karbon bebas di udara, ubah menjadi sumber daya atau kunci rapat di bumi. Potensi sumber emisi CO2 di Indonesia yang bisa ditangkap sangat besar, begitu pula kapasitas penyimpanan geologis di Kalimantan, Sumatera, dan Jawa.

Bahkan lapangan minyak/gas tua bisa dihidupkan kembali melalui Enhanced Oil Recovery. Peta jalan NZE memproyeksikan penangkapan 6 juta ton CO2/tahun pada 2030, melonjak menjadi 190 juta ton/tahun pada 2060.

Menurut Sholeh Ma’mun, tantangan implementasi teknologi CCUS di Indonesia memang tidak ringan. Seperti mulai dari biaya investasi yang tinggi, infrastruktur pendukung yang masih terbatas, regulasi yang belum sepenuhnya matang, hingga kesadaran publik yang perlu ditingkatkan.

Namun, tambah Sholeh Ma’mun, dengan kolaborasi erat antara pemerintah, dunia industri, kalangan akademisi, dan masyarakat, teknologi CCUS dapat berkembang menjadi pilar strategis dalam upaya dekarbonisasi Indonesia. Dari perspektif Islam, CCUS bukan hanya sekadar inovasi teknologi, melainkan wujud nyata amanah manusia sebagai khalifah di bumi untuk menjaga keseimbangan alam (mizan) dan mencegah kerusakan lingkungan.

“Setiap upaya menurunkan emisi karbon sejatinya adalah bentuk ibadah sosial, sebuah ikhtiar kolektif untuk melindungi bumi, demi keberlangsungan hidup generasi sekarang dan generasi yang akan datang,” kata Sholeh Ma’mun.

Dengan integrasi iman, ilmu, dan inovasi, CCUS dapat menjadi jembatan menuju Indonesia yang tangguh iklim, adil secara sosial, dan lestari secara ekologis yang dapat membuktikan bahwa teknologi dan nilai-nilai spiritual bisa berjalan seiring untuk masa depan bumi. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *