Oleh : Fandi Akhmad *)
DI TENGAH derasnya arus perubahan zaman — mulai dari perubahan iklim, krisis ekonomi, hingga rendahnya partisipasi publik dalam pembangunan — satu hal menjadi semakin mendesak: kita tidak bisa lagi mengandalkan intuisi dalam membuat keputusan. Kita butuh kebijakan yang berbasis pada bukti, bukan sekadar asumsi.
Inilah yang disebut evidence-based policy atau kebijakan berbasis bukti. Pendekatan ini menjadikan data yang valid, akurat, dan relevan sebagai dasar setiap kebijakan. Misalnya, untuk menurunkan angka kemiskinan, kita harus tahu siapa yang miskin, di mana mereka tinggal, dan apa penyebab kemiskinan itu. Semua pertanyaan itu bisa dijawab lewat statistik.
Sayangnya, data sering dianggap hanya sebagai tumpukan angka dan tabel. Padahal, statistik adalah cermin wajah kota. Data menceritakan kondisi masyarakat: siapa yang tertinggal, siapa yang terangkat, dan apa yang perlu dibenahi. Statistik juga memberi suara bagi kelompok yang sering kali terpinggirkan.
Namun, data tak bisa berdiri sendiri. Data butuh ekosistem. Butuh kolaborasi. Di sinilah Living Laboratory Statistic Kota Yogyakarta hadir sebagai solusi kolaboratif yang menggabungkan tiga pilar. Pertama, Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Yogyakarta, sebagai penyedia data dasar dan Pembina data statistik sektoral. Kedua, Dinas Komunikasi Informatika dan Persandian (Diskominfosan), sebagai wali data sektoral dan penggerak Satu Data Kota Yogyakarta. Ketiga, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ahmad Dahlan (FEB UAD), sebagai pusat intelektual.
Kolaborasi ini tidak hanya administratif. Di dalamnya ada eksperimen, edukasi, diskusi lintas sektor, hingga aksi nyata. Mahasiswa pun terlibat aktif sebagai Young Statistician, mereka tidak hanya membaca data, tapi juga menyusunnya menjadi narasi yang bermakna.
Program Young Statistician dimulai dididik dengan Yogyakarta Statistic Academy, ruang belajar intensif bagi mahasiswa dari berbagai jurusan untuk memahami statistik dasar, visualisasi data, dan analisis kebijakan. Mahasiswa dilatih melihat isu seperti kemiskinan dan pendidikan secara kuantitatif.
Selanjutnya, melalui Statistic Competition, mereka ditantang menyusun narasi berbasis data dalam bentuk artikel atau infografis yang komunikatif. Klinik Konsultasi Statistik melengkapi proses ini dengan layanan bimbingan bagi mahasiswa yang mengerjakan tugas akhir. Tujuannya menumbuhkan budaya kolaborasi dan literasi data dalam lingkungan akademik yang kritis, terbuka, dan solutif.
Lebih dari itu, Young Statistician juga membantu Pemerintah Kota Yogyakarta dalam mengelola data sectoral, yaitu data yang dihasilkan oleh setiap perangkat daerah sesuai dengan kewenangannya. Di sini, mereka ikut turun tangan membantu Diskominfosan Kota Yogyakarta dalam: mengidentifikasi dan merapikan data sektoral di OPD, memastikan kelengkapan metadata (keterangan tentang konsep dan definisi data) dan kesesuaian format, serta menjembatani interoperabilitas antar instansi. Dengan kata lain, mahasiswa tidak sekadar belajar, mereka menjadi mitra teknis dalam reformasi tata kelola data.
Semua proses ini bertujuan mewujudkan Satu Data Kota Yogyakarta, bukan sekadar jargon, tetapi prinsip nyata pemerintahan modern. Dengan data yang akurat, mutakhir, dan mudah diakses, kebijakan bisa lebih efisien dan responsif terhadap berbagai masalah.
Living Laboratory Statistic bukan proyek jangka pendek. Program ini menandai awal dari sebuah perjalanan panjang, membangun ekosistem data yang berkelanjutan dalam sebuah wadah kolaboratif yang menyatukan pemerintah, akademisi, dan mahasiswa.
Living Laboratory Statistic adalah investasi jangka panjang untuk membangun budaya baru di Kota Yogyakarta: budaya berbasis data. Budaya di mana setiap kebijakan dimulai dari angka, bukan opini. (*)
*) Statistisi Ahli Madya Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Yogyakarta